LP GANGGUAN
ADRENAL
Disfungsi kelenjar adrenal merupakan
gangguan metabolic yang menunjukkan kelebihan / defisiensi kelenjar adrenal
(Rumohorbo Hotma, 1999).
Klasifikasi Disfungsi Kelenjar Adrenal:
a. Hiperfungsi kelenjar adrenal
1.
Sindrom Cushing: disebabkan oleh sekresi berlebihan steroid adrenokortikal,
terutama kortisol. Gejala klinis bisa juga ditemukan oleh pemberian dosis
farmakologis kortikosteroid sintetik
2.
Sindrom Adrenogenital: Penyakit yang disebabkan oleh kegagalan sebagian
atau menyeluruh, satu atau beberapa
enzim yang dibutuhkan untuk sintesis steroid
3.
Hiperaldosteronisme
a. Hiperaldosteronisme primer (Sindrom Cohn): Kelaianan yang disebabkan
karena hipersekresi aldesteron
autoimun
b. Aldosteronisme sekunder: Kelainan yang disebabkan karena hipersekresi
rennin primer, ini disebabkan oleh hiperplasia sel juksta glomerulus di ginjal.
b. Hipofungsi Kelenjar
Adrenal
Insufisiensi
Adrenogenital :
1.
Insufisiensi Adrenokortikal Akut (krisis adrenal): Kelainan yang terjadi
karena defisiensi kortisol absolut atau relatif yang terjadi mendadak
sehubungan sakit / stress.
2.
Insufisiensi Adrenokortikal Kronik Primer (penyakit Addison): Kelainan
yang disebabkan karena kegagaln kerja kortikosteroid tetapi relatif lebih
penting adalah defisiensi gluko dan mineralokortikoid.
3.
Insufisiensi Adreno Kortikal Sekunder: Kelainan ini merupakan bagian dari
sinsrom kegagalan hipofisis anterior respon terhadap ACTH terhambat atau
menahun oleh karena atrofi adrenal.
1. Pengertian
Sindrom
Cushing adalah suatu keadaan yang disebabkan oleh efek metabolik gabungan dari
peninggian kadar glukokortikoid dalam darah yang menetap. (Price, 2005).
Syndrome cushing adalah Ganbaran klinis yang timbul
akibat peningkatan glukokortikoid plasma jangka panjang dalam dosisi
farmakologik (latrogen).(Wiliam F. Ganang , Fisiologi Kedokteran, Hal 364).
Sindrom
cushing adalah suatu keadaan yang diakibatkan oleh efek metabolik gabungan dari
peninggian kadar glukokortikoid dalam darah yang menetap. Kadar yang tinggi ini
dapat terjadi secara spontan atau karena pemeberian dosis farmakologik
senyawa-senyawa glukokortikoid. (Sylvia A. Price; Patofisiolgi, Hal. 1088)
2. Etiologi
Sindrom cushing disebabkan oleh
sekresi kortisol atau kortikosteron yang berlebihan, kelebihan stimulasi ACTH
mengakibatkan hiperplasia korteks anal ginjal berupa adenoma maupun carsinoma
yang tidak tergantung ACTH juga mengakibatkan sindrom cushing. Demikian juga
hiperaktivitas hipofisis, atau tumor lain yang mengeluarkan ACTH. Syndrom
cuhsing yang disebabkan tumor hipofisis disebut penyakit cusing. (buku ajar
ilmu bedah, R. Syamsuhidayat, hal 945)
Sindrom cusing dapat diakibatkan oleh
pemberian glukortikoid jangka panjang dalam dosis farmakologik (latrogen) atau
oleh sekresi kortisol yang berlebihan pada gangguan aksis hipotalamus-hipofise-adrenal
(spontan) pada sindrom cusing spontan, hiperfungsi korteks adrenal terjadi
akibat ransangan belebihan oleh ACTH atau sebab patologi adrenal yang
mengakibatkan produksi kortisol abnormal. (Sylvia A. Price; Patofisiologi, hal
1091)
3. Patofisiologi
Telah dibahas diatas bahwa penyebab
sindrom cishing adalah peninggian kadar glukokortikoid dalam darah yang
menetap. Untuk lebih memahami manifestasi klinik sindrom chusing, kita perlu
membahas akibat-akibat metabolik dari kelebihan glikokorikoid.
Korteks adrenal mensintesis dan mensekresi empat jenis hormon:
- Glukokortikoid : Glukokortikoid fisiologis yang disekresi
oleh adrenal manusia adalah kortisol.
- Mineralokortikoid :
Mineralokortikoid yang fisiologis yang diproduksi adalah aldosteron.
- Androgen.
- Estrogen.
Kelebihan glukokortikoid dapat menyebabkan keadan-keadaan seperti dibawah
ini:
- Metabolisme protein dan
karbohidrat.
Glukokortikoid
mempunyai efek katabolik dan antianabolik pada protein, menyebabkan menurunnya
kemampuan sel-sel pembentUk protein untuk mensistesis protein, sebagai
akibatnya terjadi kehilangan protein pada jaringan seperti kulit, otot,
pembuluh darah, dan tulang. Secara klinis dapat ditemukan:
o
Kulit mengalami atropi dan mudah rusak, luka-luka sembuh dengan lambat.
o
Ruptura serabut-serabut elastis pada kulit menyebabkan tanda regang pada
kulit berwarna ungu (striae).
o
Otot-otot mengalami atropi dan menjadi lemah.
o
Penipisan dinding pembuluh darah dan melemahnya jaringan penyokong vaskule
menyebabkan mudah tibul luka memar.
o
Matriks protein tulang menjadi rapuh dan menyebabkan osteoporosis,
sehingga dapat dengan mudah terjadi fraktur patologis.
- Distribusi jaringan adiposa.
Distribusi
jaringan adiposa terakumulasi didaerah sentral tubuh.
o
Obesitas.
o
Wajah bulan (moon face)
o
Memadatnya fossa supraklavikulare dan tonjolan servikodorsal (punguk
bison).
o
Obesitas trunkus dengan ekstremitas atas dan bawaH yang kurus akibat
atropi otot memberikan penampilan klasik perupa penampilan Chusingoid.
- Elektrolit
Kalau
diberikan dalam kadar yang terlalu besar dapat menyebabkan retensi natrium dan
pembuangan kalium. Menyebabkan edema, hipokalemia dan alkalosis metabolik.
- Sistem kekebalan
Glukokortikoid
mengganggu pembentukan antibody humoral dan menghabat pusat-pusat germinal
limpa dan jaringan limpoid pada respon primer terhadap anti gen.
Gangguan respon imunologik dapat terjadi pada setiap tingkatan berikut ini:
Gangguan respon imunologik dapat terjadi pada setiap tingkatan berikut ini:
- Proses pengenalan antigen awal
oleh sel-sel sistem monosit makrofag
o
Induksi dan proleferasi limfosit imunokompeten
o
Produksi anti bodi
o
Reaksi peradangan
o
Menekan reaksi hipersensitifitas lambat.
- Sekresi lambung
Sekresi
asam hidroklorida dan pepsin dapat meningkat. Faktor-faktor protekitif mukosa
dirubah oleh steroid dan faktor-faktor ini dapat mempermudah terjadinya tukak.
- Fungsi otak
perubahan
psikologik terjadi karena kelebihan kortikosteroid, hal ini ditandai dengan
oleh ketidak stabilan emosional, euforia, insomnia, dan episode depresi
singkat.
- Eritropoesis
Involusi jaringan limfosit, ransangan pelepasan neutrofil dan peningkatan eritropoiesis.
Namun secara klinis efek farmakologis yang bermanfaat dari glukokortikoid adalah kemampuannya untuk menekan reaksi peradangan. Dalam hal ini glukokortikoid: dapat menghambat hiperemia, ekstra vasasi sel, migrasi sel, dan permeabilitas kapiler, menghambat pelapasan kiniin yang bersifat pasoaktif dan menkan fagositosis.
Penekanan peradangan sangat deperlukan, akan tetapi terdapat efek anti inflamasi yang merugikan penderita. Pada infeksi akut tubuh mungkin tidak mampu melindungi diri sebagai layaknya sementara menerima dosis farmakologik. (Sylvia A. Price; Patofisiologi, hal 1090-1091)
4. Klasifikasi
Sindrom Cushing dapat diklasifikasikan
menjadi beberapa bagian, yaitu :
a.
Penyakit Cushing
Merupakan tipe Sindroma Cushing yang paling sering ditemukan berjumlah
kira-kira 70 % dari kasus yang dilaporkan. Penyakit Cushing lebih sering pada wanita (8:1, wanita :
pria) dan umur saat diagnosis biasanya antara 20-40 tahun.
b.
Hipersekresi ACTH Ektopik
Kelainan ini berjumlah sekitar 15 % dari seluruh kasus Sindroma Cushing.
Sekresi ACTH ektopik paling sering terjadi akigat karsinoma small cell
di paru-paru; tumor ini menjadi penyebab pada 50 % kasus sindroma ini tersebut.
Sindroma ACTH ektopik lebih sering pada laki-laki. Rasio wanita: pria adalah
1:3 dan tertinggi pada umur 40-60 tahun.
c.
Tumor-tumor Adrenal Primer
Tumor-tumor
adrenal primer menyebabkan 17-19 % kasus-kasus Sindroma Cushing.
Adenoma-adenoma adrenal yang mensekresi glukokortikoid lebih sering terjadi
pada wanita, tetapi bila kita menghitung semua tipe, maka insidens keseluruhan
lebih tinggi pada laki-laki. Usia rata-rata pada saat diagnosis dibuat adalah
38 tahun, 75 % kasus terjadi pada orang dewasa.
d.
Sindroma Cushing pada Masa Kanak-kanak
Sindroma Cushing pada masa kanak-kanak dan dewasa jelas lebih berbeda.
Karsinoma adrenal merupakan penyebab yang paling sering dijumpai (51 %),
adenoma adrenal terdapat sebanyak 14 %. Tumor-tumor ini lebih sering terjadi
pada usia 1 dan 8 tahun. Penyakit Cushing lebih sering terjadi pada populasi
dewasa dan berjumlah sekitar 35 % kasus, sebagian besar penderita-penderita
tersebut berusia lebih dari 10 tahun pada saat diagnosis dibuat, insidens jenis
kelamin adalah sama.
5. Manifestasi Klinis
o
Amenorea
o
Nyeri punggung
o
Kelemahan otot
o
Nyeri kepala
o
Luka sukar sembuh
o
Penipisan kulit
o
Petechie
o
Ekimosis
o
Striae
o
Hirsutisme (tumbuh bulu diwajah)
o
Punuk kerbau pada posterior leher
o
Psikosis
o
Depresi
o
Jerawat
o
Penurunan konsentrasi
o
Moonface
o
Hiperpigmentasi
o
Edema pada ekstremitas
o
Hipertensi
- Miopati
- Osteoporosis
- Pembesaran klitoris
- Obesitas
- Hipokalemik
- Perubahan emosi
- Retensi Natrium
6. Komplikasi
a.
Krisis Addisonia
b.
Efek yang merugikan pada aktivitas koreksi adrenal
c.
Patah tulang akibat osteoporosis
7. Pemeriksaan
Penunjang
a.
Tes supresi dexamethason
o
Untuk membantu menegakkan diagnosis penyebab sindrom cushing tersebut,
apakah hipofisis atau adrenal
o
Untuk menentukan kadar kortisol
Pada pagi hari lonjakan kortisol akan ditekan :
Steroid <5 style=""> à Normal
Pada pagi hari sekresi kortisol tidak ditekan : Steroid
>10 uL /dl à Sindrom Cushing
b.
Kadar kortisol bebas dalam urin 24 jam:
Untuk memeriksa kadar 17- hidroksikortikosteroid serta 17- kortikosteroid,
yang merupakan metabolic kortisol dan androgen dalam urin.
Kadar metabolic dan kortisol plasma meningkat à Sindrom Cushing
c.
Stimulasi CRF (Corticotrophin-Releasing Faktor)
Untuk membedakan tumor hipofisis dengan tempat-tempat ektopik produksi ACTH
sebagai penyebab.
d.
Pemeriksaan Radioimmunoassay ACTH Plasma
Untuk
mengenali penyebab Sindrom Cushing
e.
CT, USG, dan MRI
Dapat dilakukan untuk menentukan lokasi jaringan adrenal dan mendeteksi
tumor pada kelenjar adrenal.
i. Penatalaksanaa
a.
Terapi Operatif
o
Hipofisektomi Transfenoidalis : Operasi pengangkatan tumor pada kelenjar hipofisis
o
Adrenalektomi : terapi pilihan bagi pasien dengan hipertrofi adrenal primer
b.
Terapi Medis
Preparat
penyekot enzim adrenal (metyrapon, aminoglutethimide, mitotane, ketokonazol)
digunakan untuk mengurangi hiperadrenalisme jika sindrom tersebut disebabkan
oleh sekresi ektopik ACTH oleh tumor yang tidak dapat dihilangkan secara
tuntas.
ASUHAN
KEPERAWATAN
PADA PASIEN
GANGGUAN ADRENAL
A. Pengkajian
Pengumpalan riwayat dan pemeriksaan kesehatan difokuskan
pada efek tubuh dari hormone korteks adrenal yang konsentrasinya tinggi dan
pada kemampuan korteks adrenal untuk berespons terhadap perubahan kadar
kortisol dan aldosteron.
a. Data Biografi : nama, usia, jenis kelamin
b. Riwayat Kesehatan Sekarang
1) Data subjektif
·
Amenorea
·
Nyeri punggung
·
Mudah lelah / kelemahan otot
·
Sakit kepala
·
Luka sukar sembuh
2) Data objektif
a.
Integumen
·
Penipisan - Kulit Striae
·
Petechie - Hirsutisme (pertumbuhan bulu bulu wajah)
·
Ekimosis - Edema pada ekstremitas
·
Jerawat - Hiperpigmentasi
·
Moonface
·
Punuk kerbau (buffalo hump) pada posterior leher
b.
Kardiovaskuler
·
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
·
Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS 4-5 mid klavikula
·
Perkusi : Pekak
·
Auskultasi : S1 S2 Terdengar tunggal
c.
Sistem Pernapasan
·
Inspeksi : Pernapasan cuping hidung kadang terlihat, tidak terlihat
retraksi intercouste hidung, pergerakan dada simetris
·
Palpasi : Vocal premilis teraba rate, tidak terdapat nyeri tekan
·
Perkusi : Suara sonor
·
Auskultasi : Terdengar bunyi nafas normal, tidak terdengar bunyi nafas
tambahan ronchi wheezing
d.
Muskuloskeletal
·
Kelemahan otot
·
Miopati
·
Osteoporosis
e.
Reproduktif: Pembesaran klitoris
f.
Makanan dan cairan
·
Obesitas
·
Hipokalemia
·
Retensi natrim
g.
Psikiatrik
·
Perubahan emosi
·
Psikosis
·
Depresi
·
Penurunan konsentrasi
h.
Pembelajaran
·
Kurang pengetahuan tentang kondisi penyakit,
prognosis dan pengobatannya.
B. Diagnosis
a.
Kelebihan volume cairan b.d sekresi kortisol berlebih
karena sodium dan retensi cairan
b.
Intoleransi aktivitas b.d kelemahan otot dan
perubahan metabolisme protein
c.
Resiko infeksi b.d penurunan respon imun, respon inflamasi
d.
Resiko cidera b.d kelemahan
e.
Gangguan integritas kulit b.d kerusakan proses
penyembuhan, penipisan dan kerapuhan kulit
C. Intervensi Dan Rasional
a. Kelebihan volume cairan b.d sekresi kortisol berlebih karena sodium
dan retensi cairan
Tujuan
: Klien menunjukkan keseimbangan volume cairan setelah dilakukan
Intervensi
|
Rasional
|
1. Ukur intake output
2. Hindari intake
cairan berlebih ketika pasien hipernatremia
3. Ukur TTV (TD, N, RR) setiap 2 jam
4. Timbang BB klien
5. Monitor ECG
untuk abnormalitas (ketidakseimbangan elektrolit)
6. Lakukan alih baring setiap 2 jam
7. Kolaborasi hasil
lab (elektrolit : Na, K, Cl)
|
1. Menunjukkan status volume sirkulasi
terjadinya perpindahan cairan dan respon terhadap nyeri
2. Memberikan beberapa rasa kontrol
dalam menghadapi upaya pembatasan
3. TD meningkat,
nadi menurun dan RR meningkat menunjukkan kelebihan cairan
4. Perubahan pada
berat badan menunjukkan gangguan keseimbangan cairan
5. Hipernatremi dan
hipokalemi menunjukkan indikasi kelebihan cairan
6. Alih baring
dapat memperbaiki metabolisme
7. Menunjukkan
retensi cairan dan harus dibatasi
|
b.
Intoleransi aktivitas b.d kelemahan otot dan perubahan metabolisme protein
Tujuan
: Klien menunjukkan aktifitaskembali normal setelah dilakukan tindakan
keperawatan
Intervensi
|
Rasional
|
1. Kaji kemampuan
klien dalam melakukan aktifitas
2. Tingkatkan tirah baring / duduk
3. Catat adanya respon terhadap
aktivitas seperti :takikardi, dispnea, fatique.
4. Tingkatkan
keterlibatan pasien dalam beraktivitas sesuai kemampuannya
5. Berikan bantuan
aktivitas sesuai dengan kebutuhan
6. Berikan
aktivitas hiburan yang tepat seperti : menonton TV dan mendengarkan radi
|
1. Mengetahui
tingkat perkembangan klien dalam melakukan aktivitas
2. Periode
istirahat merupakan tehnik penghematan energi
3. Respon tersebut menunjukkan
peningkatan O2, kelelahan dan kelemahan
4. Menambah tingkat
keyakinan pasien dan harga dirinya secar baik sesuai dengan tingkat aktivitas
yang ditoleransi
5. Memenuhi kebutuhan aktivitas klien
6. Meningkatkan
relaksasi dan penghematan energi, memusatkan kembali perhatian dan
meningkatkan koping
|
c.
Resiko infeksi b.d penurunan respon
imun, respon inflamasi
Tujuan
: Infeksi tidak terjadi setelah dilakukan intervensi
Intervensi
|
Rasional
|
1.
Kaji tanda-tanda infeksi
2.
Ukur TTV setiap 8 jam
3.
Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan
keperawatan
4.
Batasi pengunjung sesuai indikasi
5.
Tempatkan klien pada ruang isolasi sesuai indikasi
6.
Pemberian antibiotik sesuai indikasi
|
1. Adanya tanda-tanda infeksi (tumor,
rubor, dolor, calor, fungsio laesa) merupakan indicator adanya infeksi
2. Suhu yang meningkat merupan indicator
adanya infeksi
3. Mencegah timbulnya infeksi silang
4. Mengurangi pemajanan terhadap patogen
infeksi lain
5. Tehnik isolasi
mungkin diperlukan untuk mencegah penyebaran/ melindungi pasien dari proses
infeksi lain
6. Terapi antibiotik untuk mengurangi
resiko terjadinya infeksi nosokomial
|
d.
Resiko cidera b.d kelemahan
Tujuan
: Klien tidak mengalami cidera setelah dilakukan intervensi
Intervensi
|
Rasional
|
1. Ciptakan lingkungan yang protektif
2. Bantu klien saat
ambulansi
3. Berikan
penghalang tempat tidur / tempat tidur dengan posisi yang rendah
4. Anjurkan kepada
klien untuk istirahat secara adekuat dengan aktivitas yang sedang
5. Anjurkan klien
untuk diet tinggi protein, kalsium dan vitamin D
6. Kolaborasi pemberian obat-obatan
seperti sedative.
|
1. Lingkungan yang
protektif dapat mencegah jatuh, fraktur dan cedera lainnya pada tulang
2. Kondisi yang
lemah sangat beresiko terjatuh
3. Menurunkan kemungkinan adanya trauma
4. Memudahkan proses penyembuhan
5. Untuk meminimalkan pengurangan massa
otot
6. Dapat meningkatkan istirahat.
|
e. Gangguan integritas kulit b.d kerusakan
proses penyembuhan, penipisan dan kerapuhan kulit
Tujuan : Klien menunjukkan integritas kulit kembali utuh setelah dilakukan
Intervensi
|
Rasional
|
1. Kaji ulang keadaan kulit klien
2. Ubah posisi klien tiap 2 jam
3. Hindari penggunaan plester
4. Berikan lotion
non alergik dan bantalan pada tonjolan tulang dan kulit
|
1. Mengetahui
kelaianan / perubahan kulit serta untuk menentukan intervensi selanjutnya
2. Meminimalkan /
mengurangi tekanan yang berlebihan didaerah yang menonjol serta melancarkan
sirkulasi
3. Penggunaan
plester dapat menimbulkan iritasi dan luka pada kulit yang rapuh
4. Lotion dapat mengurangi lecet dan iritasi
|
D. Evaluasi
a.
Kebutuhan volume cairan kembali adekuat.
b.
Klien toleransi terhadap aktivitas.
c.
Infeksi tidak terjadi.
d.
Cedera tidak terjadi.
e.
Integritas kulit klien kembali normal.
DAFTAR
PUSTAKA
Ganong, William F. 1998. Buku Ajar
Fisiologi Kedokteran.17th . Jakarta: EGC.
Guyton, AC. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.9th . Jakarta: EGC.
Hadley, Mac E. 2000. Endocrinology. 5th . New Jersey: Prentice Hall, inc.
Guyton, AC. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.9th . Jakarta: EGC.
Hadley, Mac E. 2000. Endocrinology. 5th . New Jersey: Prentice Hall, inc.
Mansjoer, Arif, dkk. 2007. Kapita
Selekta Kedokteran Jilid 1. Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius FKUI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar